Beberapa waktu lalu, saya berkirim kabar dengan seorang teman yang sedang bekerja di Korea Selatan . Seperti biasa, obrolan panjang selalu bermula dari kalimat pendek. Tahukah kalian apa yang dia utarakan?
"Koncomu jilbaban kabeh kok kamu enggak, Le?"
Dia mengomentari foto profil akun LINE saya bersama kedua teman saya yang memang semua mengenakan jilbab atau berkerudung.
Berawal dari satu kalimat itulah kemudian kami membahas jilbab atau kerudung lebih tepatnya. Mungkin bisa dibilang saya adalah orang dengan seribu alasan yang masih menolak untuk berkerudung, kenapa? Alasan pertama saya, belum siap. Pasti semua orang pun menjadikan ini sebagai alasan utama. Alasan kedua, karena kini saya tinggal di Surabaya entah saya tidak dapat membayangkan bagaimana gerahnya kepala saya dengan kerudung itu. Alasan yang jelas dibuat-buat tentunya. Alasan ketiga, lingkungan tempat tinggal saya atau bahkan seluruh penghuni rumah pemeluk Kristen. Alasan terakhir, mungkin menjadi alasan yang benar-benar saya rasakan bukan dibuat-buat. Saya seringkali penasaran, mengapa muslim diwajibkan berjilbab? Iya saya tahu karena itu keharusan, menutup aurat. Lalu kembali lagi muncul pertanyaan-pertanyaan menyebalkan lainnya; mengapa aurat wanita dibatasi hingga kepala (kecuali wajah), katanya agar terhindar dari maksiat. Tapi mohon maaf, ada beberapa wanita berkerudung yang juga menjadi korban pelecehan seksual bukan? Atau mohon maaf sebelumnya, bagi saya, hal yang mengundang nafsu bisa dibilang dari bagian lutut ke atas, hingga dada.
Saya benar-benar penasaran, mengapa wanita harus berjilbab? Teringat seorang pernah berkata kepada saya, katanya di zaman Muhammad SAW dahulu semua wanita diwajibkan berkerudung untuk membedakan kaum muslimah dan budak. Sekadar simbol begitukah? Agar terlihat identitas kita sebagai seorang muslimah? Entahlah.
***
Di tengah kegundahan, saya membaca sebuah cerita dari Danarto mengenai pengalaman spiritualnya.
Betapa irinya saya atas apa yang terjadi pada Danarto. Seolah beliau diberi mukjizat yang luar biasa oleh Allah SWT.
Jujur dalam hati terdalam saya, saya seringkali terpikir untuk mengenakan kerudung. Tetapi alasan-alasan itu terasa lebih kuat daripada hidayah berkurudung. Kemudian saya merasa, sepertinya saya butuh hidayah seperti apa yang Danarto dapat, bukan dalam peristiwa yang sama tentunya, namun hati yang ikhlas untuk sebuah penerimaan. Seperti pula hal-hal sederhana yang teman-teman saya peroleh ketika mereka akhirnya memutuskan untuk menutup kepalanya dengan kerudung.
***
Ohiya saya teringat; terkait alasan ketiga saya mengapa tidak mengenakan kerudung, teman saya (yang di Korea Selatan) menanggapi dengan guyonan satire,"Kamu gak enakan sama mereka (kelurga Kristen saya) tapi kenapa kamu enak-enak aja sama Allah SWT?" Kalian pasti tahu bukan seperti apa rasanya mendengar ucapan tersebut. Jleb. Sakit bukan main.
***
Setelah tulisan ini, tolong jangan hakimi saya. Saya justru sangat berharap, beberapa dari kalian mau berbagi kisah dan alasan mengapa kalian memilih kerudung. Saya dengan senang hati akan mendengarkan cerita kalian dengan seksama. Barangkali setelah itu, hidayah datang kepada saya. Terima kasih. Wasalam.
Saya benar-benar penasaran, mengapa wanita harus berjilbab? Teringat seorang pernah berkata kepada saya, katanya di zaman Muhammad SAW dahulu semua wanita diwajibkan berkerudung untuk membedakan kaum muslimah dan budak. Sekadar simbol begitukah? Agar terlihat identitas kita sebagai seorang muslimah? Entahlah.
***
Di tengah kegundahan, saya membaca sebuah cerita dari Danarto mengenai pengalaman spiritualnya.
“Saya berkenalan secara resmi dengan agama ketika berumur 27 tahun. Waktu itu saya di Desa Leles, Garut. Saya memperhatikan bibit padi yang disiram air secara pelan-gemercik. Pemandangan itu menyadarkan saya. Bayangan saya, kalau bibit padi ini diguyur air satu tong, dia tentu bisa hanyut dan mati. Makanya harus disiram secara perlahan-gemercik,” urai Danarto dalam sebuah wawancara dengan Jaringan Islam Liberal.
“Dari situ pikiran saya terbuka, ‘Saya harus salat ini!’ tekad saya. Lalu saya membeli buku Tuntunan Salat seharga Rp 15.000 dan mulai salat,” terang Danarto. “Nah, ketika saya pertama kali mengucap takbir, ‘Allahu Akbar', seluruh kawasan itu seolah-olah menyahut dengan ucapan yang sama: ‘Allahu Akbar, Allahu Akbar’. Seperti ada sambutan dan dalam jumlah ribuan orang. Itu berlangsung sampai satu minggu. Ketika itu saya salat sendiri di rumah. Dan itulah pengalaman spiritual saya yang pertama kali." (Dikutip dari laman kumparan.com dalam artikel 'Menyelami Semesta Magis Danarto')
Jujur dalam hati terdalam saya, saya seringkali terpikir untuk mengenakan kerudung. Tetapi alasan-alasan itu terasa lebih kuat daripada hidayah berkurudung. Kemudian saya merasa, sepertinya saya butuh hidayah seperti apa yang Danarto dapat, bukan dalam peristiwa yang sama tentunya, namun hati yang ikhlas untuk sebuah penerimaan. Seperti pula hal-hal sederhana yang teman-teman saya peroleh ketika mereka akhirnya memutuskan untuk menutup kepalanya dengan kerudung.
***
Ohiya saya teringat; terkait alasan ketiga saya mengapa tidak mengenakan kerudung, teman saya (yang di Korea Selatan) menanggapi dengan guyonan satire,"Kamu gak enakan sama mereka (kelurga Kristen saya) tapi kenapa kamu enak-enak aja sama Allah SWT?" Kalian pasti tahu bukan seperti apa rasanya mendengar ucapan tersebut. Jleb. Sakit bukan main.
***
Setelah tulisan ini, tolong jangan hakimi saya. Saya justru sangat berharap, beberapa dari kalian mau berbagi kisah dan alasan mengapa kalian memilih kerudung. Saya dengan senang hati akan mendengarkan cerita kalian dengan seksama. Barangkali setelah itu, hidayah datang kepada saya. Terima kasih. Wasalam.