Tuesday, 17 April 2018

Kerudung dan Perkara Ikhlas

Beberapa waktu lalu, saya berkirim kabar dengan seorang teman yang sedang bekerja di Korea Selatan . Seperti biasa, obrolan panjang selalu bermula dari kalimat pendek. Tahukah kalian apa yang dia utarakan? 

"Koncomu jilbaban kabeh kok kamu enggak, Le?" 

Dia mengomentari foto profil akun LINE saya bersama kedua teman saya yang memang semua mengenakan jilbab atau berkerudung. 

Berawal dari satu kalimat itulah kemudian kami membahas jilbab atau kerudung lebih tepatnya. Mungkin bisa dibilang saya adalah orang dengan seribu alasan yang masih menolak untuk berkerudung, kenapa? Alasan pertama saya, belum siap. Pasti semua orang pun menjadikan ini sebagai alasan utama. Alasan kedua, karena kini saya tinggal di Surabaya entah saya tidak dapat membayangkan bagaimana gerahnya kepala saya dengan kerudung itu. Alasan yang jelas dibuat-buat tentunya. Alasan ketiga, lingkungan tempat tinggal saya atau bahkan seluruh penghuni rumah pemeluk Kristen. Alasan terakhir, mungkin menjadi alasan yang benar-benar saya rasakan bukan dibuat-buat. Saya seringkali penasaran, mengapa muslim diwajibkan berjilbab? Iya saya tahu karena itu keharusan, menutup aurat. Lalu kembali lagi muncul pertanyaan-pertanyaan menyebalkan lainnya; mengapa aurat wanita dibatasi hingga kepala (kecuali wajah), katanya agar terhindar dari maksiat. Tapi mohon maaf, ada beberapa wanita berkerudung yang juga menjadi korban pelecehan seksual bukan? Atau mohon maaf sebelumnya, bagi saya, hal yang mengundang nafsu bisa dibilang dari bagian lutut ke atas, hingga dada.

Saya benar-benar penasaran, mengapa wanita harus berjilbab? Teringat seorang pernah berkata kepada saya, katanya di zaman Muhammad SAW dahulu semua wanita diwajibkan berkerudung untuk membedakan kaum muslimah dan budak. Sekadar simbol begitukah? Agar terlihat identitas kita sebagai seorang muslimah? Entahlah.


***

Di tengah kegundahan, saya membaca sebuah cerita dari Danarto mengenai pengalaman spiritualnya.

“Saya berkenalan secara resmi dengan agama ketika berumur 27 tahun. Waktu itu saya di Desa Leles, Garut. Saya memperhatikan bibit padi yang disiram air secara pelan-gemercik. Pemandangan itu menyadarkan saya. Bayangan saya, kalau bibit padi ini diguyur air satu tong, dia tentu bisa hanyut dan mati. Makanya harus disiram secara perlahan-gemercik,” urai Danarto dalam sebuah wawancara dengan Jaringan Islam Liberal.

“Dari situ pikiran saya terbuka, ‘Saya harus salat ini!’ tekad saya. Lalu saya membeli buku Tuntunan Salat seharga Rp 15.000 dan mulai salat,” terang Danarto. “Nah, ketika saya pertama kali mengucap takbir, ‘Allahu Akbar', seluruh kawasan itu seolah-olah menyahut dengan ucapan yang sama: ‘Allahu Akbar, Allahu Akbar’. Seperti ada sambutan dan dalam jumlah ribuan orang. Itu berlangsung sampai satu minggu. Ketika itu saya salat sendiri di rumah. Dan itulah pengalaman spiritual saya yang pertama kali." (Dikutip dari laman kumparan.com dalam artikel 'Menyelami Semesta Magis Danarto')



Betapa irinya saya atas apa yang terjadi pada Danarto. Seolah beliau diberi mukjizat yang luar biasa oleh Allah SWT.
Jujur dalam hati terdalam saya, saya seringkali terpikir untuk mengenakan kerudung. Tetapi alasan-alasan itu terasa lebih kuat daripada hidayah berkurudung. Kemudian saya merasa, sepertinya saya butuh hidayah seperti apa yang Danarto dapat, bukan dalam peristiwa yang sama tentunya, namun hati yang ikhlas untuk sebuah penerimaan. Seperti pula hal-hal sederhana yang teman-teman saya peroleh ketika mereka akhirnya memutuskan untuk menutup kepalanya dengan kerudung.

***

Ohiya saya teringat; terkait alasan ketiga saya mengapa tidak mengenakan kerudung, teman saya (yang di Korea Selatan) menanggapi dengan guyonan satire,"Kamu gak enakan sama mereka (kelurga Kristen saya) tapi kenapa kamu enak-enak aja sama Allah SWT?" Kalian pasti tahu bukan seperti apa rasanya mendengar ucapan tersebut. Jleb. Sakit bukan main.

***

Setelah tulisan ini, tolong jangan hakimi saya. Saya justru sangat berharap, beberapa dari kalian mau berbagi kisah dan alasan mengapa kalian memilih kerudung. Saya dengan senang hati akan mendengarkan cerita kalian dengan seksama. Barangkali setelah itu, hidayah datang kepada saya. Terima kasih. Wasalam. 


Sunday, 15 April 2018

KONFLIK BATIN SI AKU

Akhir-akhir ini suka enggak ngerti sama diri sendiri. 
Dikit-dikit sensi, dikit-dikit gerutu, dikit-dikit kesel. Bahkan kadang, saking enggak karuannya suka nangis gak jelas, tanpa sebab gitu.

Tapi gitu bentaran doang. Sesaat gitu udah enak lagi, baik lagi. Moody bener ya? Atau random bener sih? Semacem punya konflik batin sama diri sendiri gitu. Abis  gitu mikir atau ngomong sama diri sendiri,"Ah kebanyakan baca analisis konflik batin di psikologi sastra nih." 

Kadang seneng bisa cepet nyadar kalau yang dilakuin atau sekadar dikeluhin (dalam hati) tuh salah. Engga baik ngeluh-ngeluh gitu.

Tapi kadang juga ngerasa, kenapa harus nunggu beberapa saat dulu sih buat sadar kalau itu keliru, kenapa enggak ngehindari atau enggak usah ngelakuin hal yang keliru itu. Biar lebih adem, biar enggak nyesel macem gini lagi nih. 

Tapi kan orang pasti butuh salah dulu buat bener, butuh gagal dulu buat berhasil. 
Tapi kan perasaan atau hal keliru macem itu bukan satu atau dua kali doang dirasainnya, bisa jadi lebih dari lima kali, kan harusnya belajar dari kesalahaan atau kekeliruan lebih tepatnya. Ih macem keledai gini, suka banget ngulangin hal bodoh. 


Ternyata oh ternyata
Aku belum sepenuhnya ngerti sama diriku sendiri. Syukurlah aku segera sadar. Tapi bukannya manusia itu rumit ya termasuk aku, rumit. Ngerti diri sendiri aja susah bener. Tapi sebenernya aku ngerti kok sama diriku sendiri, cuma mungkin hal yang selalu ku maklumi buat diriku sendiri enggak berlaku sama buat orang lain makanya muncul gejolak gitu. Tapi kan kalau gitu artinya aku nyalahin orang lain atas apa yang aku rasain? Iya bukan? Tuh jahat ih. 

Ih apasih, gimana sih. Makin gak ngerti. Makin rumit gini malah. Bodo ah. 



Saturday, 7 April 2018

AKU KESEPIAN ATAU AKU ANTI SOSIAL

Di bangku bernama nyaman, memandangi langit yang selalu sama. Di ruang bernama kesepian, memandangi langit dengan keputusasaan terdalam. Di relung yang paling dalam, aku rindu memandangi kamu yang kesepian.

***

Aku adalah seorang anti sosial. Semacam berang-berang. Atau memang enggan berperang dengan kepelikan. Nyaliku menciut menyaksikan dunia yang gemilang. Mataku redup memandang kalian yang begitu riang. Batinku bertanya, seperti apa itu teman dan bagaimana persudaraan, karena hari-hariku, aku kesepian. Tentu kalian tahu betapa sesaknya kesepian. Berdiam dalam ruang, menyaksikan langit biru yang selalu biru. Aku rindu kegelapan dan gemerlap bintang-bintang. Atau aku tinggal saja di Asgardian jika hanya ingin memandang bintang? Tapi aku akan tetap kesepian dan meratapi kesendirian.

***

Untuk kamu lelaki yang (juga) kesepian;
Aku tak butuh ciuman, hanya peluk aku di tengah keriuhan,
beri aku kekuatan mencintai kekosongan.