Sebelumnya pertemuan kami selalu tanpa sengaja. Di persimpangan jalan. Sekadar saling sapa, tanpa banyak basa-basi lalu kami segera lupa. Pun pertemuan kami hanya terjadi selama sepuluh detik tiap tahunnya. Bertahun-tahun dan selalu sama.
Tapi malam ini berbeda. Keinginanku pulang bukan hanya untuk rumah. Pertemuan selama sepuluh detik tiap satu tahun itu ternyata terngiang-ngiang dalam ingatan dan sudah menjadi kebiasaan. Lalu aku menjadi serakah dengan berangan-angan bahwa sepuluh detik harus menjadi sepuluh menit atau sepuluh kalimat yang akan saling kami lontarkan. Keserakahan yang lain ialah harapan ia masih sendirian dan tengah sama-sama kesepian.
***
Aku pulang. Sama seperti tahun-tahun sebelumnya. Hanya saja kali ini waktuku di rumah lebih lama. Beberapa kali aku sengaja singgah atau sekadar lewat di persimpangan tempat kami biasanya berpapasan. Memang, segala hal yang sengaja ku lakukan dan ku harapkan tidak pernah jadi kenyataan. Sosoknya tidak pernah ada. Tidak pernah ku temukan di antara orang yang berlalu-lalang. Lalu aku segera mengelus dada dan menarik nafas panjang. Tunggu! Aku secara sengaja mencari sosoknya? Sungguh? Kenapa? Padahal ia hanyalah teman sepuluh detik yang terlintas dalam ingatan.
Pernah suatu malam di tengah keramaian, aku benar-benar sengaja mencari sosoknya. Sosok pria yang hanya kulihat selama sepuluh detik dalam satu tahun. Aku celingukan. Seperti orang kebingungan. Tengok kanan - kiri. Mencari, mencari, dan mencari. Lalu sekejap aku menangkap punggung pria sepuluh detik,"Itu dia!" batinku kegirangan. Kali ini kami tak saling sapa seperti biasanya, karena memang belum waktunya. Waktu kami di pukul 09.10 di persimpangan jalan ketika lebaran.
***
Selamat Hari Raya Idul Fitri. Aku dengan segala perasaanku tengah bersiap menanti sepuluh detik yang berarti. Pukul 09.10 di persimpangan jalan. Dan, ya, pria sepuluh detik seperti biasa. Di persimpangan. Berjalan sendirian.
"Maaf lahir batin!" sapanya sembari mengulurkan tangan.
"Maaf lahir batin! balasku yang tengah berusaha terlihat dingin.
Lalu kami berjalan menjauh, seperti yang sudah-sudah. Dan harapanku patah. Lalu aku menengadah ke langit-langit Tuhan sembari mengelus dadaku yang sesak.
"Eh tunggu!
Aku menoleh dengan hati girang dan muka masam.
"Boleh minta nomor Whatsapp? Ada yang mau ditanyain." katanya yang berhasil membuat muka masamku hilang.
"Enggak bawa handphone."
Ia menyodorkan handphone-nya dan tanpa basa-basi lagi ku tulis nomor Whatsapp-ku di handphone-nya.
***
Sejak saat itu, hariku berbeda. Aku mulai banyak berharap dan lupa bahwa aku tengah berjanji untuk hanya berharap kepada Tuhan. Berharap satu pesan singkat masuk atas nama pria sepuluh detik atau berharap akan ada sepuluh detik yang lain dan bukan lagi dalam satu tahun, minimal satu bulan, satu minggu, satu hari, atau satu jam sekali pun. Aku menjadi lupa bahwa ia hanyalah pria sepuluh detik yang sama. Pria sepuluh detik dalam satu tahunku.
Sampai suatu ketika kami berakhir dengan menikmati pohon kesemek yang tengah menguning di kaki gunung yang dingin. Jujur saya tidak ada yang berarti. Kami hanya saling bertukar kabar dan bercerita tentang lingkungan rumah kami tumbuh. Sewajarnya obrolan antar teman lama yang lama tak jumpa. Ku kira setelah itu pun aku tidak akan lagi serakah karena barangkali harapanku sekadar untuk duduk berdua dan berbagi sedikit cerita. Tapi bagaimana mungkin cerita yang sedikit tidak akan menimbulkan banyak cerita lain di dalamnya? Dan bagaimana mungkin seorang aku tidak akan berreaksi apa pun dengan elusan di kepala? Iya, dia melakukannya, dan aku jatuh. Jatuh di harapan-harapan lainnya.
Keserakahan mulai mengerubungi segala isi otakku. Sebagai manusia yang tidak pernah puas, aku ingin sepuluh jam menjadi sepuluh hari, sepuluh tahun, atau bahkan sepuluh juta tahun selama kami masih hidup. Banyak yang masih ingin ku dengar darinya, banyak yang masih ingin ku tanyakan, dan banyak yang masih ingin ku bagi dengannya. Namun barangkali aku kembali diingatkan untuk tidak boleh menjadi serakah dan harus segera sadar bahwa ia tetaplah pria sepuluh detikku meski sudah kudengar sepuluh kalimat tanya darinya.
Aku kembali menengadah. Menahan bagaimana agar selalu baik-baik saja di sepuluh jam sebelum keberangkatanku ke kota lain. Tapi dadaku terlalu sakit. Sesak. Ada sepuluh hal yang ingin ku utarakan tapi tak bisa. Ingin rasanya kembali kepada kenyataan bahwa ia hanya pria sepuluh detik yang ku temui selama sepuluh detik di tiap tahunnya.
Lantas ku elus dadaku dan berkata padanya,"Sebelumnya kamu tak keberatan menunggu satu tahun untuk bertemu dengannya selama sepuluh detik? Lantas kenapa kamu tiba-tiba gundah"
Dan ia menjawab,"Karena ada perasaan lain yang muncul dalam sepuluh detik terakhir di akhir percakapan kalian."
SEKIAN
No comments:
Post a Comment