Tuesday, 31 July 2018

Kila yang Membawa Seluruh Dunia pada Pundak

Tadi sore aku melihat Kila. Berjalan sendirian, kedinginan dengan baju lengan panjangnya yang tipis. Kila memang suka lengan panjang. Katanya, hambar ketika tidak merasakan sentuhan di sekujur lengan yang tandus. Tadi sore aku melihat Kila. Ia menatap langit-langit yang tak jelas warna dan rupanya. Mungkin Kila tengah merasa kehilangan. Aku melihatnya menepuk dadanya. Kila sering melakukannya ketika kesakitan hatinya. Tiap sore aku melihat Kila. Berjalan di lorong-lorong sempit itu sendirian. Sering ia bergumam. Pun, sering ia tersenyum riang. Tapi lebih sering Kila menahan senyum dan beban. 
Kila; banyak hal yang aku tahu tapi kamu tidak tahu. Aku tahu sehari lalu kamu ditinggalkan. Atau kamu yang meninggalkan. Tapi tetap bagiku, kamu ditinggalkan. Kamu kehilangan. Kamu kesepian. Kila; mungkin harapanmu semalam ialah dipertahankan, tapi kamu justru dilepaskan. Tapi Kila, bukankah sesuai namamu; Kukila yang berarti burung, kamu ingin terbang. Tapi Kila barangkali aku tahu, kamu pun tak ingin terbang sendirian bukan? Karena kamu takut menyelam dan tenggelam.
Kila; barangkali aku tahu begitu sulit menutup luka dan cerita yang menyeramkan, tapi Kila, kamu tidak sendirian. Tapi barangkali aku tahu, Kila hanya ingin sendirian. Pernah tidak sengaja ku dengar Kila berkata dalam hatinya, barangkali lebih menyenangkan mengucapkan terima kasih, maaf, dan tolong kepada orang asing daripada pada mereka yang mengenalmu. Kata Kila saat itu, kepada orang asing ia tidak perlu menjelaskan segala hal tentang apa yang ada dalam hati dan pikirannya. Tapi kepada mereka, Kila harus memberi seribu satu alasan dan penjelasan yang menurutnya memuakkan, menyebalkan, melelahkan, dan memperrumit semua hal.
Kila; barangkali aku mencoba mengerti. Kamu sungguh ingin ditemani. Barangkali, kamu ingin seorang duduk disampingmu, diam. Atau barangkali kamu ingin menangis kencang dan aku hanya menyaksikan. Barangkali yang lain, Kila, kamu hanya ingin ditemukan oleh mereka yang kamu tinggalkan dan meninggalkanmu. 
Kila; barangkali kini kamu tengah kesakitan dengan nyawa sudah diujung kerongkongan. Lalu, ingin ku angkat saja dunia di pundakmu? Atau barangkali Kila, kamu tidak perlu membawa seluruh dunia denganmu. Atau, kamu ingin membagi duniamu? Kila, segala itikad baikku pasti kamu menolaknya, karena bagimu hanya ingin kamu, dan kamu hanya ingin kamu lagi. Tapi Kila, bukankah itu sulit? 
Kila; jika esok sore kamu membawa seluruh duniamu, dan warna langit masih tak tentu, lalu kamu jalan sendiri membisu, menepuk pundakmu yang pilu, lalu, mau kamu bagi denganku saja duniamu? Kila, segala halnya memang sulit. Terlalu sulit. Bahkan dua tangan dan pundakmu pasti tak sanggup menahan seluruh beban dunia. Kila, nanti, pasti, aku hanya akan diam, tanpa banyak komentar, tidak meminta penjelasan, apalagi pengertian. Tapi Kila, pasti bagimu tawaranku terlalu memalukan. Memuakkan. Memusingkan. Menyebalkan. Kamu kesal. Kamu marah. Kamu merasa diremehkan. Kila, lalu aku hanya akan berkata,"Jangan bawa seluruh dunia dipundakmu." 
Jadi, Kila, nanti jika suatu sore aku melihatmu menepuk dada, boleh ku minta  restu pada Tuhan untuk membawa seluruh dunia, beban, dan ragamu ke surga saja? Tak apa bukan, Kila?


Thursday, 26 July 2018

KURA-KURA MATI DI KAMAR MANDI

Kura-kura itu pergi. Atau Mati. Setelah dari kamar mandi, sikat gigi, dan tersedak pasta giginya sendiri. Kata Tuhan sebelumnya ia menangis kencang, bahkan Tuhan pun tak dapat menolongnya. Atau mungkin, ia sengaja meracuni pasta giginya sendiri dengan kulit sapi. Hal yang paling ia benci. Tapi kata malaikat yang mencabut nyawanya, ia gembira dan bahagia ketika mau mati. Kata malaikat lagi, memang harapan terakhirnya adalah mati sebelum hari ini. Sungguh kasihan, bahkan harapan terakhir hidupnya memilukan. Tapi dia bahagia dengan keputusannya. Bukan keputusannya, meski membunuh dirinya sendiri, perkara mati katanya sudah diatur oleh Tuhan, jadi kataku ia tidak mati bunuh diri. Ia hanya mati sendiri.

Saturday, 7 July 2018

Kata Kila

Ini tentang dia yang kesepian di peraduan. Dia yang sendirian dan kesepian. Ia sendirian. Satu hal yang membuatnya selalu sendirian. Iya. Dia mencintai kesepian. Kesepian dan kesendirian. Sampai suatu saat, ketika ia kembali dari peraduan lain, ia menunduk dan duduk sendirian, di tepian jalan. Sendirian. Katanya, kalau aku tak salah dengar, pernah suatu ketika ia harus bersandar, lalu ia segera tersadar bahwa bersandar adalah hal menyebalkan dan memalukan. Lalu ia tiduran, di bebatuan. Dan, memilukan. Karena kebiasaan, ia jadi lupa cara bersandar. Ia lupa bagaimana berbagi derita dan duka. Ia bahkan lupa kapan dan kepada siapa terakhir kali ia berharap. Ia mencukupkan diri hanya dengan mencintai dirinya seorang diri. Seorang diri. Sendirian lagi.
Di rumahnya. Ia menangis sendiri. Membenci sendiri. Dan, bahagia sendiri. Dia Kila. Gadis manis yang iri pada kura-kura. Namun, ia terlalu kuat untuk disebut sebagai seorang gadis. Tapi terlalu rapuh pula menjadi seorang gadis. Ia kesepian. Sendirian. Katanya, kalau aku tidak salah dengar lagi, betapa beruntung kura-kura yang selalu tahu kemana ia harus sembunyi ketika terisak, sedang Kila hanya dapat duduk di tepian jalan sambil menengadah ke langit biru, menepuk dada yang terluka. Sendirian. Kesepian. Kata Kila lagi, sesungguhnya ia benci sendirian, ia benci kesepian, tapi ia terlanjur lupa bagaimana cara berbagi, lalu pada siapa ia harus kembali. Tidak ada penerimaan lagi, katanya. Kata Kila, perkara cita-cita, ia ingin mati sendirian, mati kesepian, di lautan, di pegunungan, atau di mana saja, asalkan mati muda. Kata Kila, ia terlanjur berteman sepi dan kesepian. Pagi ini, kata Kila, ia tersadar satu hal, ia benar-benar kesepian, di tepian jalan, dan berharap ditemukan.

Thursday, 5 July 2018

Diperjalanan


Aku suka berada dalam perjalanan. Tempat orang berlalu-lalang.
Di bus. Di kereta.
Setelah mengucap selamat jalan kepada mereka yang menjadi penghalang.