Saturday, 7 July 2018

Kata Kila

Ini tentang dia yang kesepian di peraduan. Dia yang sendirian dan kesepian. Ia sendirian. Satu hal yang membuatnya selalu sendirian. Iya. Dia mencintai kesepian. Kesepian dan kesendirian. Sampai suatu saat, ketika ia kembali dari peraduan lain, ia menunduk dan duduk sendirian, di tepian jalan. Sendirian. Katanya, kalau aku tak salah dengar, pernah suatu ketika ia harus bersandar, lalu ia segera tersadar bahwa bersandar adalah hal menyebalkan dan memalukan. Lalu ia tiduran, di bebatuan. Dan, memilukan. Karena kebiasaan, ia jadi lupa cara bersandar. Ia lupa bagaimana berbagi derita dan duka. Ia bahkan lupa kapan dan kepada siapa terakhir kali ia berharap. Ia mencukupkan diri hanya dengan mencintai dirinya seorang diri. Seorang diri. Sendirian lagi.
Di rumahnya. Ia menangis sendiri. Membenci sendiri. Dan, bahagia sendiri. Dia Kila. Gadis manis yang iri pada kura-kura. Namun, ia terlalu kuat untuk disebut sebagai seorang gadis. Tapi terlalu rapuh pula menjadi seorang gadis. Ia kesepian. Sendirian. Katanya, kalau aku tidak salah dengar lagi, betapa beruntung kura-kura yang selalu tahu kemana ia harus sembunyi ketika terisak, sedang Kila hanya dapat duduk di tepian jalan sambil menengadah ke langit biru, menepuk dada yang terluka. Sendirian. Kesepian. Kata Kila lagi, sesungguhnya ia benci sendirian, ia benci kesepian, tapi ia terlanjur lupa bagaimana cara berbagi, lalu pada siapa ia harus kembali. Tidak ada penerimaan lagi, katanya. Kata Kila, perkara cita-cita, ia ingin mati sendirian, mati kesepian, di lautan, di pegunungan, atau di mana saja, asalkan mati muda. Kata Kila, ia terlanjur berteman sepi dan kesepian. Pagi ini, kata Kila, ia tersadar satu hal, ia benar-benar kesepian, di tepian jalan, dan berharap ditemukan.

No comments:

Post a Comment