Satu,
Tok tok tok
Dua,
Tok tok tok
Tiga,
Tok tok tok
Aku penganut Islam dan mengilhami hadits yang mengatakan kita hanya diperkenankan mengetuk pintu selama tiga kali
Hari ini aku pamit
Aku gagal membuatmu membukakan pintu
Hari kedua
Satu,
Tok tok tok
Dua,
Tok tok tok
Tiga,
Tok tok tok
Lagi, kamu belum mengizinkanku masuk
Belum mempersilakanku singgah atau sanggup menetap
Belum kamu perbolehkan
Hari ketiga,
Masih ku lakukan hal yang sama
Dan lagi, ku dapati hasil yang sama
Hari keempat
Kelima
Keenam
Ketujuh
Kedelapan
Dan kesekian hari ku lakukan aktivitas yang sama dengan pintu rumahmu
Kamu tetap tak bergeming
Aku terlalu takut dilirik tetangga sebagai seorang yang tak tahu diri
Lalu ku ingat satu katamu dulu;
Tunggu aku mati lalu baru dapat kau rebut jiwaku,
yang menyedihkan, kesepian, dan terbelenggu ingatan masa kelam
Sekian.
Lantas ku kubur niatku dan menunggumu mati di depan pintu
Lalu ku mandikan jasadmu dan ku peluk kamu meski tinggal mayat
Tapi
Ternyata hatiku lebih dulu mati karena ingatanmu
Friday, 25 May 2018
Sunday, 13 May 2018
Rasaku; Tentang Teror Bom di Tiga Gereja di Surabaya
Mengenai ledakan bom oleh teroris yang terjadi di tiga gereja di Kota Surabaya. Saya sungguh terpukul. Benar-benar sedih, sesedih saya membaca buku harian Anne Frank, bahkan lebih sedih dari itu.
Kebetulan di Surabaya ini, saya tinggal dengan anggota keluarga pemeluk Kristen. Saya merasa sebagai minoritas di sini (dalam lingkup keluarga tentunya). Tapi sungguh, sekali pun saya tidak pernah mendapat perlakuan tidak mengenakan dari mereka. Ketika waktu salat tiba beberapa dari mereka bahkan mengingatkan saya untuk menyegerakan salat. Atau pernah suatu hari di acara makan-makan keluarga, dengan senang hati mereka menunjukkan mana makanan haram yang tidak dapat saya makan. Ketika saya terlihat murung, mereka pun menyarankan saya untuk terus bertawakal kepada Allah SWT bahkan disarankan untuk melakukan salat dan puasa sunah. Siang tadi, engkong dari Malang yang juga Kristen, mengajarkan saya bagaimana seharusnya menjadi sosok yang sabar dan iklas. Ia menggenggam tangan saya dengan penuh kasih mengatakan,"Bersabarlah. Tuhan selalu bersama anak yang shaleh dan shalehah. Jangan jauh-jauh. Semoga dapat kerja di Surabaya, biar kita selalu dekat dan selalu dalam lindungan Tuhan." Trenyuh saya dibuatnya.
Tapi saya sedih. Sedih akibat peristiwa teror bom di tiga gereja yang baru terjadi. Keluarga saya di Surabaya adalah pemeluk Kristen yang taat. Biasanya, mereka menjalankan ibadah minggu hingga pukul 11.00 atau bahkan 13.00 namun hari ini belum genap pukul 10.00 mereka sudah pulang gereja. Katanya, jemaat ibadah minggu dibubarkan, disarankan untuk ibadah di rumah masing-masing mengingat tengah rawan teror bom oleh teroris. Sekali lagi, saya sedih mendengarnya. Meski di twitter ramai tagar #KamiTidakTakut tapi menurut saya sulit bagi mereka untuk menutupi rasa ketakutan itu, karena entah kenapa gereja atau mereka pemeluk Kristen dan Katolik acapkali menjadi sasaran aksi terorisme. Saya benar-benar engga habis pikir. Untuk menjalankan ibadah pun mereka takut. Bukankah sudah menjadi hak bagi seluruh manusia untuk menjalankan ibadahnya? Saya merasa, teroris ini mengambil hak mereka yang untuk beribadah. Membatasi ruang gerak mereka yang tidak tahu apa salah mereka (kepada teroris).
Saya sendiri percaya, Tuhan itu Esa, apapun agamamu, bagaimana pun caramu menyembah, dan di mana pun tempatmu beribadah, Tuhan tetap Esa. Karena, ada beribu cara menuju Tuhan. Beribu ibadah yang mendamaikan. Beribu perilaku yang menyenangkan. Terakhir, berikut kutipan Dalai Lama yang semoga memberi kita ketentraman dan ketenangan jiwa.
Terlepas dari isu terorisme yang entah saya kurang tahu apa penyebabkan, saya hanya ingin mengutarakan betapa terpukulnya saya akan peristiwa ini.
Terima kasih. Salam.
Saturday, 12 May 2018
Di Tepian Jalan Semarang, Punggungmu Bersemayam
Aku adalah seorang yang tidak percaya akan jatuh cinta pada pandangan pertama. Tapi katanya, manusia sebaiknya menjadikan matanya sebagai tolak ukur dalam mempertimbangkan suatu peristiwa dan kepercayaan.
Sore itu, ku saksikan seseorang dengan punggung yang indah di balik kaca Kedai Kopi. Warna kulitnya ranum. Punggungnya bidang. Dan, jemarinya begitu lincah. Saat itu juga, ku pikir duniaku runtuh. Pertahanan diriku hancur. Aku menjadi tahu rasanya menjadi lilin yang segera meleleh karena api membara membakarnya. Seperti mau mati. Jantungku berpacu begitu cepat. Mataku linglung dan mulutku membisu menyaksikan keindahan ciptaan Tuhan dalam punggung seorang laki-laki. Ku pikir aku begitu bodoh, semudah ini aku terpikat oleh ciptaan Tuhan. Tapi, ya, kali ini aku mengakuinya, aku tengah manjadi manusia bodoh.
***
Beberapa kali, secara sengaja, ku lewati Kedai Kopi. Dengan harapan dapat menyaksikan keagungan Tuhan melalui dirinya. Aku menjadi seorang penguntit seperti dalam seri thiller yang sering ku saksikan di televisi. Tapi tentu aku bukan penguntit psikopat macam seri-seri yang ku tonton itu. Aku hanya ingin menikmati punggungnya saja. Menyelami dunia baru dengan rasa berdebar. Cukup. Aku sempat berpikir, tengah menjadi pengagum rahasia seseorang, tapi entah, rasanya lebih nyaman menyebut diriku sebagai penguntit katimbang pengagum rahasia. Sekali lagi, bukan penguntit psikopat. Karena bagiku ketika menjadi pengagum rahasia, kamu akan tampak agresif dan memiliki sejuta harapan-harapan yang lemah, tapi tunggu, bukankah penguntit pun sama? Tapi jelas, aku bukan penguntit yang begitu. Sudah ku katakan sebelumnya, aku hanya ingin menikmati punggungnya dari kejauhan.
Aku mengelak mengatakan aku sedang jatuh cinta. Karena mana ada jatuh cinta hanya dengan menyaksikan punggung seorang pria. Rasanya hatiku lebih kuat daripada itu. Bagiku, jatuh cinta adalah selemah-lemahnya perasaan. Berharap kepada seseorang apalagi. Aku sungguh membenci hal-hal menjijikan menyangkut perasaan macam itu. Saat ini, ku katakan sekali lagi; aku hanya ingin menikmati punggungnya dari kejauhan, mengagumi ciptaan Tuhan melalui dirinya lebih tepatnya.
Untunglah aku seorang yang kesepian, yang tak perlu berbagi peristiwa memalukan macam ini dengan siapapun. Dan tidak ada seorang pun yang menanti ceritaku lalu kemudian berkomentar babibu dengan segala teorinya. Melelahkan. Di saat seperti ini, menjadi kesepian adalah kebahagiaan. Tidak perlu repot-repot menjelaskan segala hal menyangkut perasaan yang menyebalkan. Dan, debar yang terus berdebar. Tunggu. Sebentar. Saat ini aku tengah berada di tepian jalan Semarang, tepat pukul 17.20, dan aku tengah menulis ini, pertahanan diriku hancur. Seketika aku mengakui diriku begitu lemah. Lemah selemahnya manusia. Benar-benar merasakan debar yang menggelegar. Seluruh hati, otak, dan pikiranku kacau. Baru sekali ini aku merasakan hal menjijikan macam ini. Kalian tahu kenapa. Di sampingku, saat ini, seorang pria yang tengah ku jadikan bahan tulisan ini, seorang pria yang hanya dapat ku nikmati punggungnya saja, mengulurkan tangan dengan jemarinya yang lincah, berkata melalui mulut kecil dengan suara yang indah berkata, Hi!
Saat ini juga, pukul 17.20 di tepian jalan Semarang, matilah aku seketika. Saat ini juga. Bagai jatuh dari puncak gedung tertinggi di dunia. Dada sesak. Jantung berhenti berdetak. Mulut kering. Kaki dan tangan kaku. Ini, ini, aku tengah merasakannya, aku tengah mengalaminya; membunuh dirimu ke dalam lubang bernama jatuh cinta.
Saat ini juga, pukul 17.20 di tepian jalan Semarang, akhirnya aku mengerti definisi cinta atau jatuh cinta selain kepada Tuhan. Saat ini juga, aku seketika percaya bahwa jatuh cinta pada pandangan pertama adalah sebenar-benarnya cinta. Seperti bagaimana aku jatuh cinta pertama kalinya pada sebuah buku hanya dengan membaca kalimat pembukanya.
Saat ini juga, pukul 17.20 di tepian jalan Semarang, matilah aku seketika. Saat ini juga. Bagai jatuh dari puncak gedung tertinggi di dunia. Dada sesak. Jantung berhenti berdetak. Mulut kering. Kaki dan tangan kaku. Ini, ini, aku tengah merasakannya, aku tengah mengalaminya; membunuh dirimu ke dalam lubang bernama jatuh cinta.
Saat ini juga, pukul 17.20 di tepian jalan Semarang, akhirnya aku mengerti definisi cinta atau jatuh cinta selain kepada Tuhan. Saat ini juga, aku seketika percaya bahwa jatuh cinta pada pandangan pertama adalah sebenar-benarnya cinta. Seperti bagaimana aku jatuh cinta pertama kalinya pada sebuah buku hanya dengan membaca kalimat pembukanya.
Saturday, 5 May 2018
Untuk Mereka yang Berlalu Lalang
Mereka yang berlalu lalang;
dengan tubuh yang lelah,
dan isi pikiran yang penat.
Jalanan seringkali tak semenyenangkan pengharapaan;
berdesakan,
berlarian,
dan bahkan bersimpuh.
Lalu ketika tiba senggangmu bingung menderu
tentang bagaimana seharusnya menghabiskan waktu
tapi segalanya berlalu sementara;
langit biru menderu
dedaunan menguning
dan air membeku
Sebenarnya manusia ialah tentang menjadi apa dan siapa
Tentang bagaimana seharusnya menangkap makna
Memberi jeda kepada ketika
Atau mendekap pada sesaat
Jika hidup ialah tentang sementara bagaimana, kemarilah! Mari nikmati senja kita berdua.
Subscribe to:
Posts (Atom)