Aku adalah seorang yang tidak percaya akan jatuh cinta pada pandangan pertama. Tapi katanya, manusia sebaiknya menjadikan matanya sebagai tolak ukur dalam mempertimbangkan suatu peristiwa dan kepercayaan.
Sore itu, ku saksikan seseorang dengan punggung yang indah di balik kaca Kedai Kopi. Warna kulitnya ranum. Punggungnya bidang. Dan, jemarinya begitu lincah. Saat itu juga, ku pikir duniaku runtuh. Pertahanan diriku hancur. Aku menjadi tahu rasanya menjadi lilin yang segera meleleh karena api membara membakarnya. Seperti mau mati. Jantungku berpacu begitu cepat. Mataku linglung dan mulutku membisu menyaksikan keindahan ciptaan Tuhan dalam punggung seorang laki-laki. Ku pikir aku begitu bodoh, semudah ini aku terpikat oleh ciptaan Tuhan. Tapi, ya, kali ini aku mengakuinya, aku tengah manjadi manusia bodoh.
***
Beberapa kali, secara sengaja, ku lewati Kedai Kopi. Dengan harapan dapat menyaksikan keagungan Tuhan melalui dirinya. Aku menjadi seorang penguntit seperti dalam seri thiller yang sering ku saksikan di televisi. Tapi tentu aku bukan penguntit psikopat macam seri-seri yang ku tonton itu. Aku hanya ingin menikmati punggungnya saja. Menyelami dunia baru dengan rasa berdebar. Cukup. Aku sempat berpikir, tengah menjadi pengagum rahasia seseorang, tapi entah, rasanya lebih nyaman menyebut diriku sebagai penguntit katimbang pengagum rahasia. Sekali lagi, bukan penguntit psikopat. Karena bagiku ketika menjadi pengagum rahasia, kamu akan tampak agresif dan memiliki sejuta harapan-harapan yang lemah, tapi tunggu, bukankah penguntit pun sama? Tapi jelas, aku bukan penguntit yang begitu. Sudah ku katakan sebelumnya, aku hanya ingin menikmati punggungnya dari kejauhan.
Aku mengelak mengatakan aku sedang jatuh cinta. Karena mana ada jatuh cinta hanya dengan menyaksikan punggung seorang pria. Rasanya hatiku lebih kuat daripada itu. Bagiku, jatuh cinta adalah selemah-lemahnya perasaan. Berharap kepada seseorang apalagi. Aku sungguh membenci hal-hal menjijikan menyangkut perasaan macam itu. Saat ini, ku katakan sekali lagi; aku hanya ingin menikmati punggungnya dari kejauhan, mengagumi ciptaan Tuhan melalui dirinya lebih tepatnya.
Untunglah aku seorang yang kesepian, yang tak perlu berbagi peristiwa memalukan macam ini dengan siapapun. Dan tidak ada seorang pun yang menanti ceritaku lalu kemudian berkomentar babibu dengan segala teorinya. Melelahkan. Di saat seperti ini, menjadi kesepian adalah kebahagiaan. Tidak perlu repot-repot menjelaskan segala hal menyangkut perasaan yang menyebalkan. Dan, debar yang terus berdebar. Tunggu. Sebentar. Saat ini aku tengah berada di tepian jalan Semarang, tepat pukul 17.20, dan aku tengah menulis ini, pertahanan diriku hancur. Seketika aku mengakui diriku begitu lemah. Lemah selemahnya manusia. Benar-benar merasakan debar yang menggelegar. Seluruh hati, otak, dan pikiranku kacau. Baru sekali ini aku merasakan hal menjijikan macam ini. Kalian tahu kenapa. Di sampingku, saat ini, seorang pria yang tengah ku jadikan bahan tulisan ini, seorang pria yang hanya dapat ku nikmati punggungnya saja, mengulurkan tangan dengan jemarinya yang lincah, berkata melalui mulut kecil dengan suara yang indah berkata, Hi!
Saat ini juga, pukul 17.20 di tepian jalan Semarang, matilah aku seketika. Saat ini juga. Bagai jatuh dari puncak gedung tertinggi di dunia. Dada sesak. Jantung berhenti berdetak. Mulut kering. Kaki dan tangan kaku. Ini, ini, aku tengah merasakannya, aku tengah mengalaminya; membunuh dirimu ke dalam lubang bernama jatuh cinta.
Saat ini juga, pukul 17.20 di tepian jalan Semarang, akhirnya aku mengerti definisi cinta atau jatuh cinta selain kepada Tuhan. Saat ini juga, aku seketika percaya bahwa jatuh cinta pada pandangan pertama adalah sebenar-benarnya cinta. Seperti bagaimana aku jatuh cinta pertama kalinya pada sebuah buku hanya dengan membaca kalimat pembukanya.
Saat ini juga, pukul 17.20 di tepian jalan Semarang, matilah aku seketika. Saat ini juga. Bagai jatuh dari puncak gedung tertinggi di dunia. Dada sesak. Jantung berhenti berdetak. Mulut kering. Kaki dan tangan kaku. Ini, ini, aku tengah merasakannya, aku tengah mengalaminya; membunuh dirimu ke dalam lubang bernama jatuh cinta.
Saat ini juga, pukul 17.20 di tepian jalan Semarang, akhirnya aku mengerti definisi cinta atau jatuh cinta selain kepada Tuhan. Saat ini juga, aku seketika percaya bahwa jatuh cinta pada pandangan pertama adalah sebenar-benarnya cinta. Seperti bagaimana aku jatuh cinta pertama kalinya pada sebuah buku hanya dengan membaca kalimat pembukanya.
No comments:
Post a Comment