Monday, 24 December 2018
MENGULANG 2018
Seperti biasa. Setiap tahunnya bagiku tidak ada yang istimewa. Ditinggalkan, kesepian, sendirian, da resolusi-resolusi akhir tahun yang akhirnya hanya menjadi angan-angan.
Rasanya hidup sendirian adalah sebuah pencapain yang paling maksimal. Diabaikan. Diacuhkan.Dikucilkan. Segalanya selalu menjadi hal biasa yang ku saksikan.
Aku selalu mengilhami dan mengimani sebuah petuah yang berkata begini,"Pada akhirnya semua manusia pasti akan sendiri." Meratapi waktu demi waktu yang terlewat tanpa pernah merasakan keunggulan dari mengulang masa lalu yang ternyata tetap saja meresahkan.
Suatu hari, aku ingin sekali ditemukan. Di hutan belantara. Di tengah lautan. Di hamparan pasir dan deburan angin yang membawa debu-debu bersilangan di angkasanya. Tapi nyatanya tetap saja aku kesepian. Hilang ingatan, dan mengulang 2018, 2018, dan 2018 lainnya dengan sama, dengan seksama, dengan dia, yang hampa.
Sunday, 28 October 2018
Pada Akhirnya
Pada akhirnya, semua manusia pasti akan sendiri. Pada masanya pun semua manusia akan bangkit sendiri.
Pada prinsipnya, kesepian selalu menghampiri. Dan, pada kenyatannya, aku tetap menikmatinya sendiri.
Tuesday, 23 October 2018
DITEMUKAN
Jadi, aku pernah menyebut namanya dalam doa. Tapi sia-sia. Tuhan menghadirkan nama lain.
Lalu, ku sebut lagi namanya dalam doa. Tapi masih sia-sia. Ia tak kunjung tiba.
Kemudian, larut malam, sebelum tidur, ku sebut namanya dalam doa, berharap Tuhan dan seluruh semesta mengiyakan.
Ku sebut namanya dengan lengkap dan lirih.
Besok, dia menjelma menjadi lautan yang selalu ingin ku ingin selami.
Dan, aku ditemukan.
Oleh dia, yang menyenangkan hati.
Lalu, ku sebut lagi namanya dalam doa. Tapi masih sia-sia. Ia tak kunjung tiba.
Kemudian, larut malam, sebelum tidur, ku sebut namanya dalam doa, berharap Tuhan dan seluruh semesta mengiyakan.
Ku sebut namanya dengan lengkap dan lirih.
Besok, dia menjelma menjadi lautan yang selalu ingin ku ingin selami.
Dan, aku ditemukan.
Oleh dia, yang menyenangkan hati.
Saturday, 18 August 2018
Dari Kamu & Untuk Kamu
Dari kamu dua bulan lalu
Jadi, apa yang sedang kamu lakukan sekarang? Sudahkah menemukan pencarian lain yang ingin kamu selami? Atau, sudahkah menemukan alasan-alasan hidup lainnya?
Untuk kamu 2 bulan, 2 tahun, 2 abad, dan atau kamu di kehidupan lain
Tidak apa-apa. Kamu boleh memaknai segala halnya sendirian. Memberi definisi dari semua diksi. Toh, semua itu tidak apa-apa, yang jahat bukan dunia, tapi pikiran bukan? Tidak apa-apa, ketika kamu berkata dalam hatimu atau kepada mereka sekalipun; aku ingin hidup dengan terus mencari alasan kenapa aku harus hidup, tidak apa-apa, mencari alasan-alasan itu. Karena toh, sudut pandang kita yang pilih sendiri, sumpah serapah, semua bagai benang kusut.
Jadi, apa yang sedang kamu lakukan sekarang? Sudahkah menemukan pencarian lain yang ingin kamu selami? Atau, sudahkah menemukan alasan-alasan hidup lainnya?
Untuk kamu 2 bulan, 2 tahun, 2 abad, dan atau kamu di kehidupan lain
Tidak apa-apa. Kamu boleh memaknai segala halnya sendirian. Memberi definisi dari semua diksi. Toh, semua itu tidak apa-apa, yang jahat bukan dunia, tapi pikiran bukan? Tidak apa-apa, ketika kamu berkata dalam hatimu atau kepada mereka sekalipun; aku ingin hidup dengan terus mencari alasan kenapa aku harus hidup, tidak apa-apa, mencari alasan-alasan itu. Karena toh, sudut pandang kita yang pilih sendiri, sumpah serapah, semua bagai benang kusut.
Tuesday, 31 July 2018
Kila yang Membawa Seluruh Dunia pada Pundak
Tadi sore aku melihat Kila. Berjalan sendirian, kedinginan dengan baju lengan panjangnya yang tipis. Kila memang suka lengan panjang. Katanya, hambar ketika tidak merasakan sentuhan di sekujur lengan yang tandus. Tadi sore aku melihat Kila. Ia menatap langit-langit yang tak jelas warna dan rupanya. Mungkin Kila tengah merasa kehilangan. Aku melihatnya menepuk dadanya. Kila sering melakukannya ketika kesakitan hatinya. Tiap sore aku melihat Kila. Berjalan di lorong-lorong sempit itu sendirian. Sering ia bergumam. Pun, sering ia tersenyum riang. Tapi lebih sering Kila menahan senyum dan beban.
Kila; banyak hal yang aku tahu tapi kamu tidak tahu. Aku tahu sehari lalu kamu ditinggalkan. Atau kamu yang meninggalkan. Tapi tetap bagiku, kamu ditinggalkan. Kamu kehilangan. Kamu kesepian. Kila; mungkin harapanmu semalam ialah dipertahankan, tapi kamu justru dilepaskan. Tapi Kila, bukankah sesuai namamu; Kukila yang berarti burung, kamu ingin terbang. Tapi Kila barangkali aku tahu, kamu pun tak ingin terbang sendirian bukan? Karena kamu takut menyelam dan tenggelam.
Kila; barangkali aku tahu begitu sulit menutup luka dan cerita yang menyeramkan, tapi Kila, kamu tidak sendirian. Tapi barangkali aku tahu, Kila hanya ingin sendirian. Pernah tidak sengaja ku dengar Kila berkata dalam hatinya, barangkali lebih menyenangkan mengucapkan terima kasih, maaf, dan tolong kepada orang asing daripada pada mereka yang mengenalmu. Kata Kila saat itu, kepada orang asing ia tidak perlu menjelaskan segala hal tentang apa yang ada dalam hati dan pikirannya. Tapi kepada mereka, Kila harus memberi seribu satu alasan dan penjelasan yang menurutnya memuakkan, menyebalkan, melelahkan, dan memperrumit semua hal.
Kila; barangkali aku mencoba mengerti. Kamu sungguh ingin ditemani. Barangkali, kamu ingin seorang duduk disampingmu, diam. Atau barangkali kamu ingin menangis kencang dan aku hanya menyaksikan. Barangkali yang lain, Kila, kamu hanya ingin ditemukan oleh mereka yang kamu tinggalkan dan meninggalkanmu.
Kila; barangkali kini kamu tengah kesakitan dengan nyawa sudah diujung kerongkongan. Lalu, ingin ku angkat saja dunia di pundakmu? Atau barangkali Kila, kamu tidak perlu membawa seluruh dunia denganmu. Atau, kamu ingin membagi duniamu? Kila, segala itikad baikku pasti kamu menolaknya, karena bagimu hanya ingin kamu, dan kamu hanya ingin kamu lagi. Tapi Kila, bukankah itu sulit?
Kila; jika esok sore kamu membawa seluruh duniamu, dan warna langit masih tak tentu, lalu kamu jalan sendiri membisu, menepuk pundakmu yang pilu, lalu, mau kamu bagi denganku saja duniamu? Kila, segala halnya memang sulit. Terlalu sulit. Bahkan dua tangan dan pundakmu pasti tak sanggup menahan seluruh beban dunia. Kila, nanti, pasti, aku hanya akan diam, tanpa banyak komentar, tidak meminta penjelasan, apalagi pengertian. Tapi Kila, pasti bagimu tawaranku terlalu memalukan. Memuakkan. Memusingkan. Menyebalkan. Kamu kesal. Kamu marah. Kamu merasa diremehkan. Kila, lalu aku hanya akan berkata,"Jangan bawa seluruh dunia dipundakmu."
Jadi, Kila, nanti jika suatu sore aku melihatmu menepuk dada, boleh ku minta restu pada Tuhan untuk membawa seluruh dunia, beban, dan ragamu ke surga saja? Tak apa bukan, Kila?
Thursday, 26 July 2018
KURA-KURA MATI DI KAMAR MANDI
Kura-kura itu pergi. Atau Mati. Setelah dari kamar mandi, sikat gigi, dan tersedak pasta giginya sendiri. Kata Tuhan sebelumnya ia menangis kencang, bahkan Tuhan pun tak dapat menolongnya. Atau mungkin, ia sengaja meracuni pasta giginya sendiri dengan kulit sapi. Hal yang paling ia benci. Tapi kata malaikat yang mencabut nyawanya, ia gembira dan bahagia ketika mau mati. Kata malaikat lagi, memang harapan terakhirnya adalah mati sebelum hari ini. Sungguh kasihan, bahkan harapan terakhir hidupnya memilukan. Tapi dia bahagia dengan keputusannya. Bukan keputusannya, meski membunuh dirinya sendiri, perkara mati katanya sudah diatur oleh Tuhan, jadi kataku ia tidak mati bunuh diri. Ia hanya mati sendiri.
Saturday, 7 July 2018
Kata Kila
Ini tentang dia yang kesepian di peraduan. Dia yang sendirian dan kesepian. Ia sendirian. Satu hal yang membuatnya selalu sendirian. Iya. Dia mencintai kesepian. Kesepian dan kesendirian. Sampai suatu saat, ketika ia kembali dari peraduan lain, ia menunduk dan duduk sendirian, di tepian jalan. Sendirian. Katanya, kalau aku tak salah dengar, pernah suatu ketika ia harus bersandar, lalu ia segera tersadar bahwa bersandar adalah hal menyebalkan dan memalukan. Lalu ia tiduran, di bebatuan. Dan, memilukan. Karena kebiasaan, ia jadi lupa cara bersandar. Ia lupa bagaimana berbagi derita dan duka. Ia bahkan lupa kapan dan kepada siapa terakhir kali ia berharap. Ia mencukupkan diri hanya dengan mencintai dirinya seorang diri. Seorang diri. Sendirian lagi.
Di rumahnya. Ia menangis sendiri. Membenci sendiri. Dan, bahagia sendiri. Dia Kila. Gadis manis yang iri pada kura-kura. Namun, ia terlalu kuat untuk disebut sebagai seorang gadis. Tapi terlalu rapuh pula menjadi seorang gadis. Ia kesepian. Sendirian. Katanya, kalau aku tidak salah dengar lagi, betapa beruntung kura-kura yang selalu tahu kemana ia harus sembunyi ketika terisak, sedang Kila hanya dapat duduk di tepian jalan sambil menengadah ke langit biru, menepuk dada yang terluka. Sendirian. Kesepian. Kata Kila lagi, sesungguhnya ia benci sendirian, ia benci kesepian, tapi ia terlanjur lupa bagaimana cara berbagi, lalu pada siapa ia harus kembali. Tidak ada penerimaan lagi, katanya. Kata Kila, perkara cita-cita, ia ingin mati sendirian, mati kesepian, di lautan, di pegunungan, atau di mana saja, asalkan mati muda. Kata Kila, ia terlanjur berteman sepi dan kesepian. Pagi ini, kata Kila, ia tersadar satu hal, ia benar-benar kesepian, di tepian jalan, dan berharap ditemukan.
Thursday, 5 July 2018
Diperjalanan
Tuesday, 26 June 2018
PRIA SEPULUH DETIK DI SATU TAHUNKU
Sebelumnya pertemuan kami selalu tanpa sengaja. Di persimpangan jalan. Sekadar saling sapa, tanpa banyak basa-basi lalu kami segera lupa. Pun pertemuan kami hanya terjadi selama sepuluh detik tiap tahunnya. Bertahun-tahun dan selalu sama.
Tapi malam ini berbeda. Keinginanku pulang bukan hanya untuk rumah. Pertemuan selama sepuluh detik tiap satu tahun itu ternyata terngiang-ngiang dalam ingatan dan sudah menjadi kebiasaan. Lalu aku menjadi serakah dengan berangan-angan bahwa sepuluh detik harus menjadi sepuluh menit atau sepuluh kalimat yang akan saling kami lontarkan. Keserakahan yang lain ialah harapan ia masih sendirian dan tengah sama-sama kesepian.
***
Aku pulang. Sama seperti tahun-tahun sebelumnya. Hanya saja kali ini waktuku di rumah lebih lama. Beberapa kali aku sengaja singgah atau sekadar lewat di persimpangan tempat kami biasanya berpapasan. Memang, segala hal yang sengaja ku lakukan dan ku harapkan tidak pernah jadi kenyataan. Sosoknya tidak pernah ada. Tidak pernah ku temukan di antara orang yang berlalu-lalang. Lalu aku segera mengelus dada dan menarik nafas panjang. Tunggu! Aku secara sengaja mencari sosoknya? Sungguh? Kenapa? Padahal ia hanyalah teman sepuluh detik yang terlintas dalam ingatan.
Pernah suatu malam di tengah keramaian, aku benar-benar sengaja mencari sosoknya. Sosok pria yang hanya kulihat selama sepuluh detik dalam satu tahun. Aku celingukan. Seperti orang kebingungan. Tengok kanan - kiri. Mencari, mencari, dan mencari. Lalu sekejap aku menangkap punggung pria sepuluh detik,"Itu dia!" batinku kegirangan. Kali ini kami tak saling sapa seperti biasanya, karena memang belum waktunya. Waktu kami di pukul 09.10 di persimpangan jalan ketika lebaran.
***
Selamat Hari Raya Idul Fitri. Aku dengan segala perasaanku tengah bersiap menanti sepuluh detik yang berarti. Pukul 09.10 di persimpangan jalan. Dan, ya, pria sepuluh detik seperti biasa. Di persimpangan. Berjalan sendirian.
"Maaf lahir batin!" sapanya sembari mengulurkan tangan.
"Maaf lahir batin! balasku yang tengah berusaha terlihat dingin.
Lalu kami berjalan menjauh, seperti yang sudah-sudah. Dan harapanku patah. Lalu aku menengadah ke langit-langit Tuhan sembari mengelus dadaku yang sesak.
"Eh tunggu!
Aku menoleh dengan hati girang dan muka masam.
"Boleh minta nomor Whatsapp? Ada yang mau ditanyain." katanya yang berhasil membuat muka masamku hilang.
"Enggak bawa handphone."
Ia menyodorkan handphone-nya dan tanpa basa-basi lagi ku tulis nomor Whatsapp-ku di handphone-nya.
***
Sejak saat itu, hariku berbeda. Aku mulai banyak berharap dan lupa bahwa aku tengah berjanji untuk hanya berharap kepada Tuhan. Berharap satu pesan singkat masuk atas nama pria sepuluh detik atau berharap akan ada sepuluh detik yang lain dan bukan lagi dalam satu tahun, minimal satu bulan, satu minggu, satu hari, atau satu jam sekali pun. Aku menjadi lupa bahwa ia hanyalah pria sepuluh detik yang sama. Pria sepuluh detik dalam satu tahunku.
Sampai suatu ketika kami berakhir dengan menikmati pohon kesemek yang tengah menguning di kaki gunung yang dingin. Jujur saya tidak ada yang berarti. Kami hanya saling bertukar kabar dan bercerita tentang lingkungan rumah kami tumbuh. Sewajarnya obrolan antar teman lama yang lama tak jumpa. Ku kira setelah itu pun aku tidak akan lagi serakah karena barangkali harapanku sekadar untuk duduk berdua dan berbagi sedikit cerita. Tapi bagaimana mungkin cerita yang sedikit tidak akan menimbulkan banyak cerita lain di dalamnya? Dan bagaimana mungkin seorang aku tidak akan berreaksi apa pun dengan elusan di kepala? Iya, dia melakukannya, dan aku jatuh. Jatuh di harapan-harapan lainnya.
Keserakahan mulai mengerubungi segala isi otakku. Sebagai manusia yang tidak pernah puas, aku ingin sepuluh jam menjadi sepuluh hari, sepuluh tahun, atau bahkan sepuluh juta tahun selama kami masih hidup. Banyak yang masih ingin ku dengar darinya, banyak yang masih ingin ku tanyakan, dan banyak yang masih ingin ku bagi dengannya. Namun barangkali aku kembali diingatkan untuk tidak boleh menjadi serakah dan harus segera sadar bahwa ia tetaplah pria sepuluh detikku meski sudah kudengar sepuluh kalimat tanya darinya.
Aku kembali menengadah. Menahan bagaimana agar selalu baik-baik saja di sepuluh jam sebelum keberangkatanku ke kota lain. Tapi dadaku terlalu sakit. Sesak. Ada sepuluh hal yang ingin ku utarakan tapi tak bisa. Ingin rasanya kembali kepada kenyataan bahwa ia hanya pria sepuluh detik yang ku temui selama sepuluh detik di tiap tahunnya.
Lantas ku elus dadaku dan berkata padanya,"Sebelumnya kamu tak keberatan menunggu satu tahun untuk bertemu dengannya selama sepuluh detik? Lantas kenapa kamu tiba-tiba gundah"
Dan ia menjawab,"Karena ada perasaan lain yang muncul dalam sepuluh detik terakhir di akhir percakapan kalian."
SEKIAN
Thursday, 7 June 2018
Tentang Menikahi Diri Sendiri
Tentang menikahi diri sendiri
Jika Neverland memang ada, ku ingin menetap di sana dan menjadi budak masa kanak-kanak sebagai dalih ketidakberanianku mengungkapkan kepada dunia bahwa aku kesepian;
Katanya, menikahi diri sendiri hanya berlaku bagi mereka yang siap dengan sepinya kematian.
Tapi tak apa, toh aku ingin mati di dasar samudra terdalam berenang bersama hiu-hiu mematikan tanpa merasa ketakutan.
Friday, 25 May 2018
Kamu yang Enggan Membuka Pintu
Satu,
Tok tok tok
Dua,
Tok tok tok
Tiga,
Tok tok tok
Aku penganut Islam dan mengilhami hadits yang mengatakan kita hanya diperkenankan mengetuk pintu selama tiga kali
Hari ini aku pamit
Aku gagal membuatmu membukakan pintu
Hari kedua
Satu,
Tok tok tok
Dua,
Tok tok tok
Tiga,
Tok tok tok
Lagi, kamu belum mengizinkanku masuk
Belum mempersilakanku singgah atau sanggup menetap
Belum kamu perbolehkan
Hari ketiga,
Masih ku lakukan hal yang sama
Dan lagi, ku dapati hasil yang sama
Hari keempat
Kelima
Keenam
Ketujuh
Kedelapan
Dan kesekian hari ku lakukan aktivitas yang sama dengan pintu rumahmu
Kamu tetap tak bergeming
Aku terlalu takut dilirik tetangga sebagai seorang yang tak tahu diri
Lalu ku ingat satu katamu dulu;
Tunggu aku mati lalu baru dapat kau rebut jiwaku,
yang menyedihkan, kesepian, dan terbelenggu ingatan masa kelam
Sekian.
Lantas ku kubur niatku dan menunggumu mati di depan pintu
Lalu ku mandikan jasadmu dan ku peluk kamu meski tinggal mayat
Tapi
Ternyata hatiku lebih dulu mati karena ingatanmu
Tok tok tok
Dua,
Tok tok tok
Tiga,
Tok tok tok
Aku penganut Islam dan mengilhami hadits yang mengatakan kita hanya diperkenankan mengetuk pintu selama tiga kali
Hari ini aku pamit
Aku gagal membuatmu membukakan pintu
Hari kedua
Satu,
Tok tok tok
Dua,
Tok tok tok
Tiga,
Tok tok tok
Lagi, kamu belum mengizinkanku masuk
Belum mempersilakanku singgah atau sanggup menetap
Belum kamu perbolehkan
Hari ketiga,
Masih ku lakukan hal yang sama
Dan lagi, ku dapati hasil yang sama
Hari keempat
Kelima
Keenam
Ketujuh
Kedelapan
Dan kesekian hari ku lakukan aktivitas yang sama dengan pintu rumahmu
Kamu tetap tak bergeming
Aku terlalu takut dilirik tetangga sebagai seorang yang tak tahu diri
Lalu ku ingat satu katamu dulu;
Tunggu aku mati lalu baru dapat kau rebut jiwaku,
yang menyedihkan, kesepian, dan terbelenggu ingatan masa kelam
Sekian.
Lantas ku kubur niatku dan menunggumu mati di depan pintu
Lalu ku mandikan jasadmu dan ku peluk kamu meski tinggal mayat
Tapi
Ternyata hatiku lebih dulu mati karena ingatanmu
Sunday, 13 May 2018
Rasaku; Tentang Teror Bom di Tiga Gereja di Surabaya
Mengenai ledakan bom oleh teroris yang terjadi di tiga gereja di Kota Surabaya. Saya sungguh terpukul. Benar-benar sedih, sesedih saya membaca buku harian Anne Frank, bahkan lebih sedih dari itu.
Kebetulan di Surabaya ini, saya tinggal dengan anggota keluarga pemeluk Kristen. Saya merasa sebagai minoritas di sini (dalam lingkup keluarga tentunya). Tapi sungguh, sekali pun saya tidak pernah mendapat perlakuan tidak mengenakan dari mereka. Ketika waktu salat tiba beberapa dari mereka bahkan mengingatkan saya untuk menyegerakan salat. Atau pernah suatu hari di acara makan-makan keluarga, dengan senang hati mereka menunjukkan mana makanan haram yang tidak dapat saya makan. Ketika saya terlihat murung, mereka pun menyarankan saya untuk terus bertawakal kepada Allah SWT bahkan disarankan untuk melakukan salat dan puasa sunah. Siang tadi, engkong dari Malang yang juga Kristen, mengajarkan saya bagaimana seharusnya menjadi sosok yang sabar dan iklas. Ia menggenggam tangan saya dengan penuh kasih mengatakan,"Bersabarlah. Tuhan selalu bersama anak yang shaleh dan shalehah. Jangan jauh-jauh. Semoga dapat kerja di Surabaya, biar kita selalu dekat dan selalu dalam lindungan Tuhan." Trenyuh saya dibuatnya.
Tapi saya sedih. Sedih akibat peristiwa teror bom di tiga gereja yang baru terjadi. Keluarga saya di Surabaya adalah pemeluk Kristen yang taat. Biasanya, mereka menjalankan ibadah minggu hingga pukul 11.00 atau bahkan 13.00 namun hari ini belum genap pukul 10.00 mereka sudah pulang gereja. Katanya, jemaat ibadah minggu dibubarkan, disarankan untuk ibadah di rumah masing-masing mengingat tengah rawan teror bom oleh teroris. Sekali lagi, saya sedih mendengarnya. Meski di twitter ramai tagar #KamiTidakTakut tapi menurut saya sulit bagi mereka untuk menutupi rasa ketakutan itu, karena entah kenapa gereja atau mereka pemeluk Kristen dan Katolik acapkali menjadi sasaran aksi terorisme. Saya benar-benar engga habis pikir. Untuk menjalankan ibadah pun mereka takut. Bukankah sudah menjadi hak bagi seluruh manusia untuk menjalankan ibadahnya? Saya merasa, teroris ini mengambil hak mereka yang untuk beribadah. Membatasi ruang gerak mereka yang tidak tahu apa salah mereka (kepada teroris).
Saya sendiri percaya, Tuhan itu Esa, apapun agamamu, bagaimana pun caramu menyembah, dan di mana pun tempatmu beribadah, Tuhan tetap Esa. Karena, ada beribu cara menuju Tuhan. Beribu ibadah yang mendamaikan. Beribu perilaku yang menyenangkan. Terakhir, berikut kutipan Dalai Lama yang semoga memberi kita ketentraman dan ketenangan jiwa.
Terlepas dari isu terorisme yang entah saya kurang tahu apa penyebabkan, saya hanya ingin mengutarakan betapa terpukulnya saya akan peristiwa ini.
Terima kasih. Salam.
Saturday, 12 May 2018
Di Tepian Jalan Semarang, Punggungmu Bersemayam
Aku adalah seorang yang tidak percaya akan jatuh cinta pada pandangan pertama. Tapi katanya, manusia sebaiknya menjadikan matanya sebagai tolak ukur dalam mempertimbangkan suatu peristiwa dan kepercayaan.
Sore itu, ku saksikan seseorang dengan punggung yang indah di balik kaca Kedai Kopi. Warna kulitnya ranum. Punggungnya bidang. Dan, jemarinya begitu lincah. Saat itu juga, ku pikir duniaku runtuh. Pertahanan diriku hancur. Aku menjadi tahu rasanya menjadi lilin yang segera meleleh karena api membara membakarnya. Seperti mau mati. Jantungku berpacu begitu cepat. Mataku linglung dan mulutku membisu menyaksikan keindahan ciptaan Tuhan dalam punggung seorang laki-laki. Ku pikir aku begitu bodoh, semudah ini aku terpikat oleh ciptaan Tuhan. Tapi, ya, kali ini aku mengakuinya, aku tengah manjadi manusia bodoh.
***
Beberapa kali, secara sengaja, ku lewati Kedai Kopi. Dengan harapan dapat menyaksikan keagungan Tuhan melalui dirinya. Aku menjadi seorang penguntit seperti dalam seri thiller yang sering ku saksikan di televisi. Tapi tentu aku bukan penguntit psikopat macam seri-seri yang ku tonton itu. Aku hanya ingin menikmati punggungnya saja. Menyelami dunia baru dengan rasa berdebar. Cukup. Aku sempat berpikir, tengah menjadi pengagum rahasia seseorang, tapi entah, rasanya lebih nyaman menyebut diriku sebagai penguntit katimbang pengagum rahasia. Sekali lagi, bukan penguntit psikopat. Karena bagiku ketika menjadi pengagum rahasia, kamu akan tampak agresif dan memiliki sejuta harapan-harapan yang lemah, tapi tunggu, bukankah penguntit pun sama? Tapi jelas, aku bukan penguntit yang begitu. Sudah ku katakan sebelumnya, aku hanya ingin menikmati punggungnya dari kejauhan.
Aku mengelak mengatakan aku sedang jatuh cinta. Karena mana ada jatuh cinta hanya dengan menyaksikan punggung seorang pria. Rasanya hatiku lebih kuat daripada itu. Bagiku, jatuh cinta adalah selemah-lemahnya perasaan. Berharap kepada seseorang apalagi. Aku sungguh membenci hal-hal menjijikan menyangkut perasaan macam itu. Saat ini, ku katakan sekali lagi; aku hanya ingin menikmati punggungnya dari kejauhan, mengagumi ciptaan Tuhan melalui dirinya lebih tepatnya.
Untunglah aku seorang yang kesepian, yang tak perlu berbagi peristiwa memalukan macam ini dengan siapapun. Dan tidak ada seorang pun yang menanti ceritaku lalu kemudian berkomentar babibu dengan segala teorinya. Melelahkan. Di saat seperti ini, menjadi kesepian adalah kebahagiaan. Tidak perlu repot-repot menjelaskan segala hal menyangkut perasaan yang menyebalkan. Dan, debar yang terus berdebar. Tunggu. Sebentar. Saat ini aku tengah berada di tepian jalan Semarang, tepat pukul 17.20, dan aku tengah menulis ini, pertahanan diriku hancur. Seketika aku mengakui diriku begitu lemah. Lemah selemahnya manusia. Benar-benar merasakan debar yang menggelegar. Seluruh hati, otak, dan pikiranku kacau. Baru sekali ini aku merasakan hal menjijikan macam ini. Kalian tahu kenapa. Di sampingku, saat ini, seorang pria yang tengah ku jadikan bahan tulisan ini, seorang pria yang hanya dapat ku nikmati punggungnya saja, mengulurkan tangan dengan jemarinya yang lincah, berkata melalui mulut kecil dengan suara yang indah berkata, Hi!
Saat ini juga, pukul 17.20 di tepian jalan Semarang, matilah aku seketika. Saat ini juga. Bagai jatuh dari puncak gedung tertinggi di dunia. Dada sesak. Jantung berhenti berdetak. Mulut kering. Kaki dan tangan kaku. Ini, ini, aku tengah merasakannya, aku tengah mengalaminya; membunuh dirimu ke dalam lubang bernama jatuh cinta.
Saat ini juga, pukul 17.20 di tepian jalan Semarang, akhirnya aku mengerti definisi cinta atau jatuh cinta selain kepada Tuhan. Saat ini juga, aku seketika percaya bahwa jatuh cinta pada pandangan pertama adalah sebenar-benarnya cinta. Seperti bagaimana aku jatuh cinta pertama kalinya pada sebuah buku hanya dengan membaca kalimat pembukanya.
Saat ini juga, pukul 17.20 di tepian jalan Semarang, matilah aku seketika. Saat ini juga. Bagai jatuh dari puncak gedung tertinggi di dunia. Dada sesak. Jantung berhenti berdetak. Mulut kering. Kaki dan tangan kaku. Ini, ini, aku tengah merasakannya, aku tengah mengalaminya; membunuh dirimu ke dalam lubang bernama jatuh cinta.
Saat ini juga, pukul 17.20 di tepian jalan Semarang, akhirnya aku mengerti definisi cinta atau jatuh cinta selain kepada Tuhan. Saat ini juga, aku seketika percaya bahwa jatuh cinta pada pandangan pertama adalah sebenar-benarnya cinta. Seperti bagaimana aku jatuh cinta pertama kalinya pada sebuah buku hanya dengan membaca kalimat pembukanya.
Saturday, 5 May 2018
Untuk Mereka yang Berlalu Lalang
Mereka yang berlalu lalang;
dengan tubuh yang lelah,
dan isi pikiran yang penat.
Jalanan seringkali tak semenyenangkan pengharapaan;
berdesakan,
berlarian,
dan bahkan bersimpuh.
Lalu ketika tiba senggangmu bingung menderu
tentang bagaimana seharusnya menghabiskan waktu
tapi segalanya berlalu sementara;
langit biru menderu
dedaunan menguning
dan air membeku
Sebenarnya manusia ialah tentang menjadi apa dan siapa
Tentang bagaimana seharusnya menangkap makna
Memberi jeda kepada ketika
Atau mendekap pada sesaat
Jika hidup ialah tentang sementara bagaimana, kemarilah! Mari nikmati senja kita berdua.
Tuesday, 17 April 2018
Kerudung dan Perkara Ikhlas
Beberapa waktu lalu, saya berkirim kabar dengan seorang teman yang sedang bekerja di Korea Selatan . Seperti biasa, obrolan panjang selalu bermula dari kalimat pendek. Tahukah kalian apa yang dia utarakan?
"Koncomu jilbaban kabeh kok kamu enggak, Le?"
Dia mengomentari foto profil akun LINE saya bersama kedua teman saya yang memang semua mengenakan jilbab atau berkerudung.
Berawal dari satu kalimat itulah kemudian kami membahas jilbab atau kerudung lebih tepatnya. Mungkin bisa dibilang saya adalah orang dengan seribu alasan yang masih menolak untuk berkerudung, kenapa? Alasan pertama saya, belum siap. Pasti semua orang pun menjadikan ini sebagai alasan utama. Alasan kedua, karena kini saya tinggal di Surabaya entah saya tidak dapat membayangkan bagaimana gerahnya kepala saya dengan kerudung itu. Alasan yang jelas dibuat-buat tentunya. Alasan ketiga, lingkungan tempat tinggal saya atau bahkan seluruh penghuni rumah pemeluk Kristen. Alasan terakhir, mungkin menjadi alasan yang benar-benar saya rasakan bukan dibuat-buat. Saya seringkali penasaran, mengapa muslim diwajibkan berjilbab? Iya saya tahu karena itu keharusan, menutup aurat. Lalu kembali lagi muncul pertanyaan-pertanyaan menyebalkan lainnya; mengapa aurat wanita dibatasi hingga kepala (kecuali wajah), katanya agar terhindar dari maksiat. Tapi mohon maaf, ada beberapa wanita berkerudung yang juga menjadi korban pelecehan seksual bukan? Atau mohon maaf sebelumnya, bagi saya, hal yang mengundang nafsu bisa dibilang dari bagian lutut ke atas, hingga dada.
Saya benar-benar penasaran, mengapa wanita harus berjilbab? Teringat seorang pernah berkata kepada saya, katanya di zaman Muhammad SAW dahulu semua wanita diwajibkan berkerudung untuk membedakan kaum muslimah dan budak. Sekadar simbol begitukah? Agar terlihat identitas kita sebagai seorang muslimah? Entahlah.
***
Di tengah kegundahan, saya membaca sebuah cerita dari Danarto mengenai pengalaman spiritualnya.
Betapa irinya saya atas apa yang terjadi pada Danarto. Seolah beliau diberi mukjizat yang luar biasa oleh Allah SWT.
Jujur dalam hati terdalam saya, saya seringkali terpikir untuk mengenakan kerudung. Tetapi alasan-alasan itu terasa lebih kuat daripada hidayah berkurudung. Kemudian saya merasa, sepertinya saya butuh hidayah seperti apa yang Danarto dapat, bukan dalam peristiwa yang sama tentunya, namun hati yang ikhlas untuk sebuah penerimaan. Seperti pula hal-hal sederhana yang teman-teman saya peroleh ketika mereka akhirnya memutuskan untuk menutup kepalanya dengan kerudung.
***
Ohiya saya teringat; terkait alasan ketiga saya mengapa tidak mengenakan kerudung, teman saya (yang di Korea Selatan) menanggapi dengan guyonan satire,"Kamu gak enakan sama mereka (kelurga Kristen saya) tapi kenapa kamu enak-enak aja sama Allah SWT?" Kalian pasti tahu bukan seperti apa rasanya mendengar ucapan tersebut. Jleb. Sakit bukan main.
***
Setelah tulisan ini, tolong jangan hakimi saya. Saya justru sangat berharap, beberapa dari kalian mau berbagi kisah dan alasan mengapa kalian memilih kerudung. Saya dengan senang hati akan mendengarkan cerita kalian dengan seksama. Barangkali setelah itu, hidayah datang kepada saya. Terima kasih. Wasalam.
Saya benar-benar penasaran, mengapa wanita harus berjilbab? Teringat seorang pernah berkata kepada saya, katanya di zaman Muhammad SAW dahulu semua wanita diwajibkan berkerudung untuk membedakan kaum muslimah dan budak. Sekadar simbol begitukah? Agar terlihat identitas kita sebagai seorang muslimah? Entahlah.
***
Di tengah kegundahan, saya membaca sebuah cerita dari Danarto mengenai pengalaman spiritualnya.
“Saya berkenalan secara resmi dengan agama ketika berumur 27 tahun. Waktu itu saya di Desa Leles, Garut. Saya memperhatikan bibit padi yang disiram air secara pelan-gemercik. Pemandangan itu menyadarkan saya. Bayangan saya, kalau bibit padi ini diguyur air satu tong, dia tentu bisa hanyut dan mati. Makanya harus disiram secara perlahan-gemercik,” urai Danarto dalam sebuah wawancara dengan Jaringan Islam Liberal.
“Dari situ pikiran saya terbuka, ‘Saya harus salat ini!’ tekad saya. Lalu saya membeli buku Tuntunan Salat seharga Rp 15.000 dan mulai salat,” terang Danarto. “Nah, ketika saya pertama kali mengucap takbir, ‘Allahu Akbar', seluruh kawasan itu seolah-olah menyahut dengan ucapan yang sama: ‘Allahu Akbar, Allahu Akbar’. Seperti ada sambutan dan dalam jumlah ribuan orang. Itu berlangsung sampai satu minggu. Ketika itu saya salat sendiri di rumah. Dan itulah pengalaman spiritual saya yang pertama kali." (Dikutip dari laman kumparan.com dalam artikel 'Menyelami Semesta Magis Danarto')
Jujur dalam hati terdalam saya, saya seringkali terpikir untuk mengenakan kerudung. Tetapi alasan-alasan itu terasa lebih kuat daripada hidayah berkurudung. Kemudian saya merasa, sepertinya saya butuh hidayah seperti apa yang Danarto dapat, bukan dalam peristiwa yang sama tentunya, namun hati yang ikhlas untuk sebuah penerimaan. Seperti pula hal-hal sederhana yang teman-teman saya peroleh ketika mereka akhirnya memutuskan untuk menutup kepalanya dengan kerudung.
***
Ohiya saya teringat; terkait alasan ketiga saya mengapa tidak mengenakan kerudung, teman saya (yang di Korea Selatan) menanggapi dengan guyonan satire,"Kamu gak enakan sama mereka (kelurga Kristen saya) tapi kenapa kamu enak-enak aja sama Allah SWT?" Kalian pasti tahu bukan seperti apa rasanya mendengar ucapan tersebut. Jleb. Sakit bukan main.
***
Setelah tulisan ini, tolong jangan hakimi saya. Saya justru sangat berharap, beberapa dari kalian mau berbagi kisah dan alasan mengapa kalian memilih kerudung. Saya dengan senang hati akan mendengarkan cerita kalian dengan seksama. Barangkali setelah itu, hidayah datang kepada saya. Terima kasih. Wasalam.
Sunday, 15 April 2018
KONFLIK BATIN SI AKU
Akhir-akhir ini suka enggak ngerti sama diri sendiri.
Dikit-dikit sensi, dikit-dikit gerutu, dikit-dikit kesel. Bahkan kadang, saking enggak karuannya suka nangis gak jelas, tanpa sebab gitu.
Tapi gitu bentaran doang. Sesaat gitu udah enak lagi, baik lagi. Moody bener ya? Atau random bener sih? Semacem punya konflik batin sama diri sendiri gitu. Abis gitu mikir atau ngomong sama diri sendiri,"Ah kebanyakan baca analisis konflik batin di psikologi sastra nih."
Kadang seneng bisa cepet nyadar kalau yang dilakuin atau sekadar dikeluhin (dalam hati) tuh salah. Engga baik ngeluh-ngeluh gitu.
Tapi kadang juga ngerasa, kenapa harus nunggu beberapa saat dulu sih buat sadar kalau itu keliru, kenapa enggak ngehindari atau enggak usah ngelakuin hal yang keliru itu. Biar lebih adem, biar enggak nyesel macem gini lagi nih.
Tapi kan orang pasti butuh salah dulu buat bener, butuh gagal dulu buat berhasil.
Tapi kan perasaan atau hal keliru macem itu bukan satu atau dua kali doang dirasainnya, bisa jadi lebih dari lima kali, kan harusnya belajar dari kesalahaan atau kekeliruan lebih tepatnya. Ih macem keledai gini, suka banget ngulangin hal bodoh.
Ternyata oh ternyata
Aku belum sepenuhnya ngerti sama diriku sendiri. Syukurlah aku segera sadar. Tapi bukannya manusia itu rumit ya termasuk aku, rumit. Ngerti diri sendiri aja susah bener. Tapi sebenernya aku ngerti kok sama diriku sendiri, cuma mungkin hal yang selalu ku maklumi buat diriku sendiri enggak berlaku sama buat orang lain makanya muncul gejolak gitu. Tapi kan kalau gitu artinya aku nyalahin orang lain atas apa yang aku rasain? Iya bukan? Tuh jahat ih.
Ih apasih, gimana sih. Makin gak ngerti. Makin rumit gini malah. Bodo ah.
Saturday, 7 April 2018
AKU KESEPIAN ATAU AKU ANTI SOSIAL
Di bangku bernama nyaman, memandangi langit yang selalu sama. Di ruang bernama kesepian, memandangi langit dengan keputusasaan terdalam. Di relung yang paling dalam, aku rindu memandangi kamu yang kesepian.
***
Aku adalah seorang anti sosial. Semacam berang-berang. Atau memang enggan berperang dengan kepelikan. Nyaliku menciut menyaksikan dunia yang gemilang. Mataku redup memandang kalian yang begitu riang. Batinku bertanya, seperti apa itu teman dan bagaimana persudaraan, karena hari-hariku, aku kesepian. Tentu kalian tahu betapa sesaknya kesepian. Berdiam dalam ruang, menyaksikan langit biru yang selalu biru. Aku rindu kegelapan dan gemerlap bintang-bintang. Atau aku tinggal saja di Asgardian jika hanya ingin memandang bintang? Tapi aku akan tetap kesepian dan meratapi kesendirian.
***
Untuk kamu lelaki yang (juga) kesepian;
Aku tak butuh ciuman, hanya peluk aku di tengah keriuhan,
beri aku kekuatan mencintai kekosongan.
***
Aku adalah seorang anti sosial. Semacam berang-berang. Atau memang enggan berperang dengan kepelikan. Nyaliku menciut menyaksikan dunia yang gemilang. Mataku redup memandang kalian yang begitu riang. Batinku bertanya, seperti apa itu teman dan bagaimana persudaraan, karena hari-hariku, aku kesepian. Tentu kalian tahu betapa sesaknya kesepian. Berdiam dalam ruang, menyaksikan langit biru yang selalu biru. Aku rindu kegelapan dan gemerlap bintang-bintang. Atau aku tinggal saja di Asgardian jika hanya ingin memandang bintang? Tapi aku akan tetap kesepian dan meratapi kesendirian.
***
Untuk kamu lelaki yang (juga) kesepian;
Aku tak butuh ciuman, hanya peluk aku di tengah keriuhan,
beri aku kekuatan mencintai kekosongan.
Wednesday, 28 March 2018
PERKARA HIDUP
Suatu ketika, ia hanya mampu merasakan bahwa langit yang selama ini ia lihat tak sedalam dan sebiru biasanya. Mulutnya kelu. Dadanya ngilu. Dan hatinya terombang-ambing oleh gulungan awan hitam yang merebut keceriaan biru. Lantas ia terisak. Berpikir, "Pernahkan aku seperti ini?". Berpikir lagi,"Apakah benar hidup yang seperti ini?". Tak letihnya ia berpikir, ia menerka, dari mana datangnya keinginannya untuk hidup lebih lama. Kadang ia menyesali keputusannya untuk bertahan hidup. Kadang pula ia menyadari, keliru, akan keputusasaanya dalam hidup. Sekilas ia menyadari bahwa menjadi manusia hidup dan tumbuh adalah hal yang yang paling menyebalkan pada masanya, tapi menjadi menusia yang ingin segera mengakhiri hidup juga sebuah kecelakaan dan perasaan terbodoh dalam hatinya. Meski tak pernah sekalian dari dalam dirinya terbesit keinginan untuk membunuh dirinya namun sungguh dalam hati terdalam ia tidak pernah menginginkan hidup. Atau lebih tepatnya hidup yang seperti ini.
Jika begitu maksudnya, bukan perkara lahir dan mati yang ia sesalkan. Ia hanya sekadar menyesalkan hidup yang seperti ini. Seperti dipaksanya menyelami lautan terdalam baginya yang tidak dapat berenang namun kucing kesayangannya tengah meratap untuk diselamatkan. Sesak. Bagai tinggal di Mars tanpa baju astronotmu. Tapi aku bukan astronot. Astronot hanya pernah menjadi mimpi masa kecilku dulu, ketika aku masih sangat menyukai antariksa, meski sekarang pun aku masih sangat menyukainya.
***
Aku memutuskan untuk berhenti bermimpi dan menjalani hidup yang begini-begini saja. Tak apa. Aku hanya lelah berharap, daripada aku ingin cepat mati ketika harapanku hnya sekadar harapan. Katanya menjadi seorang tanpa harapan ialah orang yang sia-sia. Tapi bukankah impian menyelami lautan terdalam dan terbang ke bulan bagi seorang yang bukan apa-apa sepertiku ialah hal sia-sia? Bagiku, kini, hidup hanya tentang memposisikan dirimu pada kenyataan dan mengikuti takdir yang menyebalkan. Sekian.
Tuesday, 27 March 2018
DEFINISI SEPI
Definisi kesepian terbenar adalah:
Ketika kamu bahkan tidak memikirkan apapun dan siapapun, namun dadamu sesak dan matamu mengembun.
Subscribe to:
Posts (Atom)